Minggu, 24 September 2023

 

SENYUM UNTUKMU

Hajriah

Aku tidak pernah membayangkan untuk kuliah, keinginan terbesarku adalah bekerja setelah lulus sekolah, supaya bias meringankan beban orang tua.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) adalah pilihanku saat itu dengan harapan bias langsung bekerja setelah semangat kompetisiku muncul ketika beredar rumor bahwa anak kampung seperti kami tidak bisa berkuliah di universitas di kotaku. Miris memang, tetapi itulah kenyataannya.

Ria Ernanti adalah namaku, biasa dipanggil RE. Ayahku pak Rahman dan ibuku Nurmala. Terlahir dari orang tua yang ke duanya termasuk kategori buta aksara. Aku tidak malu dengan kondisi tersebut bahkan menjadi motivasi untuk  berbuat lebih baik. Pesan orang tuaku sewaktu kecil dan masih terngiang hingga kini adalah “Belajarlah yang rajin agar kalian bisa membaca dan menulis bukan seperti kami serta  buatlah kami datang ke sekolah kalian karena kebanggaan bukan karena kesalahan.” Pesan sederhana tetapi mempunyai makna yang dalam. Beliau menginginkan dan berharap kami bisa lebih baik darinya, minimal bisa membaca dan menulis.

 Usaha keluarga adalah pedagang kaki lima di depan  rumah. Kami didik untuk bisa mandiri dan terbiasa dengan kondisi yang serba kurang.

“RE!” panggil ibuku dengan koran ditangan. “iya bu, ada apa?” jawabku!

Kata orang namamu ada di koran ini dinyatakan lulus di Universitas Mataram, kata ibu sambil memperlihatkan koran tersebut. “Kapan RE daftar dan mengapa tidak memberitahukan kami sebelumnya?”.

Rasa bersalah menghampiriku. “Maaf bu, RE daftarnya diam-diam, hanya ingin membuktikan diri kalau RE bisa lulus bukan seperti rumor yang beredar. Ibu memelukku sambil menangis, “bukan ibu tidak bahagia tetapi RE kan tahu keluarga kita seperti apa, takutnya kami tidak bisa membayar biaya kuliahmu, !”.

“RE hanya mencoba dan membuktikan diri kalau RE mampu, jika tidak lanjut juga gak apa-apa kok bu.” jawabku untuk mengurangi rasa sedih di hati ibu.

“Nanti kita diskusikan dulu dengan ayah dan pamanmu ya, semoga ada jalan keluar yang terbaik.” Aku masih melihat rasa Bahagia dan rasa bersalah di mata ibu.

Setelah diskusi keluarga dilakukan, akhirnya aku memilih untuk kuliah. Ibu memutuskan  menjual perhiasannya untuk biaya daftar ulang. Baru kusadari, ibu adalah manajer keuangan dan investor yang handal walaupun tidak pernah bersekolah. Kembali ayah dan ibu berpesan “RE kuliahnya jangan setengah-setengah ya!”

Perjuangan ibu yang senantiasa menyisihkan uang belanja untuk membiaya kuliahku menjadi penyemangat untuk menyelesaikannya dalam waktu yang paling cepat. Apabila jadwal kuliah pagi, setelah pulang langsung membantu ibu menyiapkan dagangannya. Apabila jadwal kuliah siang, tugasku menyelesaikan pekerjaan rumah dan menyiapkan makan siang. Jika tidak ada jadwal kuliah atau libur, tugasku mengupas singkong dan memotongnya untuk dijadikan krepek, siangnya ibu yang menggoreng dan bertahap aku yang membungkus.

Hari ini Arin  teman kuliahku mengajak jalan-jalan setelah selesai jadwal. “RE jalan yok, dak usah belajar melulu!” Mau nolak salah, nerima juga salah, akhirnnya kuputuskan ikut Arin karena keseringan menolak. “Kita pulang dulu ya Rin, izin ibu dulu!”

“Akhirnya bisa juga si kutu buku diajak jalan-jalan,” teriak Arin sambil loncat kegirangan. Aku senyum-senyum sendiri, Bahagia juga lihat Arin seperti itu. Arin adalah sahabat yang mengerti kondisiku, baik dari segi keluarga, keuangan maupun pertemanan. Kami saling mengenal sejak pertemuan pertama di kampus. Sama-sama berkomitmen menyelesaikan kuliah dalam waktu paling cepat dengan hasil yang memuaskan.

Kami pun pulang setelah membereskan perlengkapan kuliah. Saling bercanda kami berjalan pulang. Rumahku kebetulan dekat dengan kampus. Rumahnya sederhana, walaupun agak sempit tetapi teman-temanku merasa nyaman belajar bersama.

“Assalamu’alaikum ibu!”, Arin langsung mencium tangan dan memeluk ibuku. “Waalaikumussalam!” ibu membalas pelukan  Arin. Bahagia melihatnya. Ibu sudah  menganggap Arin anak, bahkan kadang-kadang lebih memanjakannya dibanding aku anak kandungnya. Bagiku dak masalah, malah bahagia serasa mempunyai saudara perempuan.

“Bagamana kabarnya bu, Arin mau ngajak RE jalan-jalan sebentar, boleh kan bu?”. “Alhamdulillah ibu baik dan sehat, ya  boleh, tapi pulangnya sebelum maghrib ya!” “Siap ibuku cantik,” Arin kembali memeluk ibu, kamipun langsung berangkat sambil bergandeng tangan

Tak terasa akhirnya aku menyelesaikan masa kuliah seperti yang sudah direncanakan, begitu juga dengan Arin dan beberapa teman yang memiliki komitmen yang sama.

Hari ini aku wisuda, kulihat senyum bahagia terus terukir di wajah ibu. Aku lulus dengan predikat Cum Laude. Ku persembahkan kelulusanku untuk ibu. Senyum dan tangis bahagia menjadi satu. “Ibu bahagia dan bangga RE!”. Kupeluk ibu dengan erat, “RE juga bangga sama ibu, selalu mendukung RE sampai titik ini, terimakasih bu.”

 

 

 

 

 

BERSYUKUR

 

Makanlah sebelum lapar

Berhentilah sebelum kenyang

Semua ada kadarnya

Semua ada bagiannya

 

Hiduplah sewajarnya

Hiduplah semampunya

Bukan untuk hidup selamanya

Bukan untuk hidup semaunya

 

Air akan mengalir jika dibutuhkan

Pikiran akan jernih jika melepaskan

Janganlah menutup pintu air padahal dibutuhkan

Janganlah mengotori pikiran dengan beban tanpa ujung

 

 

Entah


ENTAH

 

Entah mengapa aku tak berdaya

Menghilangkan rasa sakit di hati ini

Laksana beribu jarum yang menusuk

Hanya karena lintasan lisan

Yang tidak sengaja didengar

 

Entah mengapa gudah di hati tak mau pergi

Ada rasa bersalah tidak bisa mengayomi

Hanya karena kata tak sanggup yang slalu menghampiri

Untuk bisa menggemgam harapan bersama

 

Entah mengapa kaki terasa berat untuk melangkah

Tetap diam, harus maju atau harus mundur

Masih ada rasa tidak rela di hati

Masih ada rasa bersalah yang menghantui

 

Ada keinginan untuk sembunyi

Ada keinginan untuk melupakan

Ada keinginan untuk pergi

Ada keinginan untuk mengabaikan

 

Entahlah….