SENYUM
UNTUKMU
Hajriah
Aku tidak pernah membayangkan
untuk kuliah, keinginan terbesarku adalah bekerja setelah lulus sekolah, supaya
bias meringankan beban orang tua.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
adalah pilihanku saat itu dengan harapan bias langsung bekerja setelah semangat
kompetisiku muncul ketika beredar rumor bahwa anak kampung seperti kami tidak
bisa berkuliah di universitas di kotaku. Miris memang, tetapi itulah
kenyataannya.
Ria Ernanti adalah namaku, biasa
dipanggil RE. Ayahku pak Rahman dan ibuku Nurmala. Terlahir dari orang tua yang
ke duanya termasuk kategori buta aksara. Aku tidak malu dengan kondisi tersebut
bahkan menjadi motivasi untuk berbuat
lebih baik. Pesan orang tuaku sewaktu kecil dan masih terngiang hingga kini
adalah “Belajarlah yang rajin agar kalian bisa membaca dan menulis bukan
seperti kami serta buatlah kami datang
ke sekolah kalian karena kebanggaan bukan karena kesalahan.” Pesan sederhana
tetapi mempunyai makna yang dalam. Beliau menginginkan dan berharap kami bisa
lebih baik darinya, minimal bisa membaca dan menulis.
Usaha keluarga adalah pedagang kaki lima di
depan rumah. Kami didik untuk bisa
mandiri dan terbiasa dengan kondisi yang serba kurang.
“RE!” panggil ibuku dengan koran
ditangan. “iya bu, ada apa?” jawabku!
Kata orang namamu ada di koran ini
dinyatakan lulus di Universitas Mataram, kata ibu sambil memperlihatkan koran
tersebut. “Kapan RE daftar dan mengapa tidak memberitahukan kami sebelumnya?”.
Rasa bersalah menghampiriku. “Maaf
bu, RE daftarnya diam-diam, hanya ingin membuktikan diri kalau RE bisa lulus
bukan seperti rumor yang beredar. Ibu memelukku sambil menangis, “bukan ibu
tidak bahagia tetapi RE kan tahu keluarga kita seperti apa, takutnya kami tidak
bisa membayar biaya kuliahmu, !”.
“RE hanya mencoba dan membuktikan
diri kalau RE mampu, jika tidak lanjut juga gak apa-apa kok bu.” jawabku untuk
mengurangi rasa sedih di hati ibu.
“Nanti kita diskusikan dulu dengan
ayah dan pamanmu ya, semoga ada jalan keluar yang terbaik.” Aku masih melihat
rasa Bahagia dan rasa bersalah di mata ibu.
Setelah diskusi keluarga
dilakukan, akhirnya aku memilih untuk kuliah. Ibu memutuskan menjual perhiasannya untuk biaya daftar
ulang. Baru kusadari, ibu adalah manajer keuangan dan investor yang handal walaupun
tidak pernah bersekolah. Kembali ayah dan ibu berpesan “RE kuliahnya jangan
setengah-setengah ya!”
Perjuangan ibu yang senantiasa
menyisihkan uang belanja untuk membiaya kuliahku menjadi penyemangat untuk
menyelesaikannya dalam waktu yang paling cepat. Apabila jadwal kuliah pagi,
setelah pulang langsung membantu ibu menyiapkan dagangannya. Apabila jadwal
kuliah siang, tugasku menyelesaikan pekerjaan rumah dan menyiapkan makan siang.
Jika tidak ada jadwal kuliah atau libur, tugasku mengupas singkong dan
memotongnya untuk dijadikan krepek, siangnya ibu yang menggoreng dan bertahap
aku yang membungkus.
Hari ini Arin teman kuliahku mengajak jalan-jalan setelah
selesai jadwal. “RE jalan yok, dak usah belajar melulu!” Mau nolak salah,
nerima juga salah, akhirnnya kuputuskan ikut Arin karena keseringan menolak.
“Kita pulang dulu ya Rin, izin ibu dulu!”
“Akhirnya bisa juga si kutu buku
diajak jalan-jalan,” teriak Arin sambil loncat kegirangan. Aku senyum-senyum
sendiri, Bahagia juga lihat Arin seperti itu. Arin adalah sahabat yang mengerti
kondisiku, baik dari segi keluarga, keuangan maupun pertemanan. Kami saling
mengenal sejak pertemuan pertama di kampus. Sama-sama berkomitmen menyelesaikan
kuliah dalam waktu paling cepat dengan hasil yang memuaskan.
Kami pun pulang setelah
membereskan perlengkapan kuliah. Saling bercanda kami berjalan pulang. Rumahku
kebetulan dekat dengan kampus. Rumahnya sederhana, walaupun agak sempit tetapi teman-temanku
merasa nyaman belajar bersama.
“Assalamu’alaikum ibu!”, Arin
langsung mencium tangan dan memeluk ibuku. “Waalaikumussalam!” ibu membalas
pelukan Arin. Bahagia melihatnya. Ibu
sudah menganggap Arin anak, bahkan
kadang-kadang lebih memanjakannya dibanding aku anak kandungnya. Bagiku dak
masalah, malah bahagia serasa mempunyai saudara perempuan.
“Bagamana kabarnya bu, Arin mau
ngajak RE jalan-jalan sebentar, boleh kan bu?”. “Alhamdulillah ibu baik dan
sehat, ya boleh, tapi pulangnya sebelum
maghrib ya!” “Siap ibuku cantik,” Arin kembali memeluk ibu, kamipun langsung
berangkat sambil bergandeng tangan
Tak terasa akhirnya aku
menyelesaikan masa kuliah seperti yang sudah direncanakan, begitu juga dengan
Arin dan beberapa teman yang memiliki komitmen yang sama.
Hari ini aku wisuda, kulihat
senyum bahagia terus terukir di wajah ibu. Aku lulus dengan predikat Cum Laude.
Ku persembahkan kelulusanku untuk ibu. Senyum dan tangis bahagia menjadi satu.
“Ibu bahagia dan bangga RE!”. Kupeluk ibu dengan erat, “RE juga bangga sama
ibu, selalu mendukung RE sampai titik ini, terimakasih bu.”